Assalammu'alaikum Wr.wb

Selamat datang di blok Berbagi itu Indah, Semoga Bermanfaat

Minggu, 20 Mei 2012


Nasib Perawat Makin tak Jelas

banyak sekali kendala untuk menjadikan perawat sebagai profesi tang profesional. Saat ini kondisi perawat di Indonesia memang terpuruk. Dibanding rekannya di negara lain, bahkan sesama negara ASEAN, gaji perawat di Indonesia relatif rendah, rata-rata tingkat pendidikannya pun rendah, kebanyakan hanya lulusan Diploma 3 (D3). 
Dibanding tenaga kesehatan lain, jumlah perawat memang relatif besar. Sebanyak 52 persen tenaga kesehatan adalah perawat. Sekitar 60 persen pegawai rumah sakit adalah perawat. Tetapi jumlah ini sebenarnya tidak sebanding, karena perawat melakukan asuhan keperawatan itu selama 24 jam dibandingkan dengan dokter yang hanya memeriksa lalu pergi, terkadang 10 orang pasien ditangani oleh 1 orang perawat. lalu bagaimana imbalan yang didapat? apakah cukup untuk apa yang telah mereka lakukan ? jawabannya pasti tidak. karena seperti yang kita tahu gaji untuk perawat di Indonesia masih sangat kecil jika dibanding dengan negara-negara lain. jadi wajar jika muncul anggapan beban kerja yang berat tidak sebanding dengan imbalan yang didapat.
Kebijakan zero growth pegawai pemerintah serta ketidakmampuan rumah sakit swasta mempekerjakan perawat dalam jumlah memadai telah lama dikeluhkan para perawat. Perbandingan jumlah perawat dalam satu shift jaga dengan jumlah pasien tidak seimbang. Akibatnya, perawat sering harus bekerja melebihi kapasitas, dan mendapat kecaman keluarga pasien yang merasa tidak terlayani dengan baik. Di sisi lain, tidak ada aturan memadai untuk melindungi perawat di tempat kerja. Demikian juga peraturan perundang-undangan tentang praktik keperawatan serta konsil (council)keperawatan yang diperlukan.
Lebih dari 50 persen perawat tidak pernah mendapat pelatihan tentang keperawatan klinis maupun komunitas dalam lima tahun terakhir. Kesempatan untuk meningkatkan pendidikan dan mempersiapkan diri untuk mencapai jabatan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan teknis lebih tinggi juga sangat terbatas.
Tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan perawat menjadi pekerja profesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum ini diimplementasikan tahun 1985 sebagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 1995 program studi itu mandiri sebagai Fakultas Ilmu Keperawatan, lulusannya disebut ners atau perawat profesional. Saat ini di Indonesia ada sekitar 600 institusi pendidikan D3 keperawatan atau akademi perawat, satu Fakultas Keperawatan di UI, serta delapan program studi keperawatan di universitas lain. Program pascasarjana keperawatan dimulai tahun 1999. Kini sudah ada Program Magister Keperawatan dan Program Spesialis Keperawatan, serta pendidikan S3 Keperawatan di UI.
Dikeluhkan, pengembangan pendidikan keperawatan terhambat keterbatasan fasilitas untuk praktik lapangan, praktik laboratorium, serta perpustakaan. Alasannya klasik, anggaran Departemen Pendidikan Nasional kurang. Selain itu, jumlah staf pengajar yang memenuhi kualifikasi juga terbatas. Jangankan untuk perguruan tinggi, mencari tenaga pengajar untuk akademi perawat di daerah saja sangat sulit.
Selama ini rumah sakit pendidikan hanya digunakan untuk mahasiswa kedokteran. Peraturan itu menyebabkan mahasiswa ilmu keperawatan mengalami diskriminasi, tak boleh memegang pasien, serta harus membayar untuk kerja praktik di rumah sakit. Padahal, untuk menjadi perawat profesional mutlak diperlukan praktik kerja di rumah sakit bagi sarjana keperawatan, sebagaimana sarjana kedokteran perlu praktik kerja untuk menjadi dokter.
Perubahan sistem pendidikan ke arah pendidikan yang profesional diharapkan dapat memperbaiki peran perawat dari yang semula pembantu dokter berangsur-angsur menjadi profesional yang mandiri. Untuk tujuan itu perlu dipikirkan alokasi anggaran yang memadai. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial serta Depdiknas perlu duduk bersama sehingga pemanfaatan anggaran kedua departemen bisa efisien dan tidak tumpang tindih.
Untuk lapangan pekerjaan sendiri wakaupun rumah sakit kekurangan perawat namun ternyata permintaan ini tidak bisa dipenuhi karena kekurangan dana dari pihak rumah sakit. Karenanya bayak sekali perawat yang tidak bekerja. Untuk mengatasi pengangguran perawat yang kini mencapai tak kurang dari 30.000 orang, pemerintah menggalakkan penempatan perawat di luar negeri. Pasar kerja perawat di luar negeri cukup besar. Negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, bahkan kini Inggris mulai melirik perawat asal Indonesia.
American Hospital Association sudah menyatakan kekurangan tenaga perawat, walau gaji yang ditawarkan 40 ribu dollar AS per tahun. Rata-rata perawat hanya tahan bekerja selama lima tahun. Sementara remaja-remaja AS sudah tidak berminat masuk sekolah perawat. Tahun 2007 diperkirakan AS akan kekurangan setengah juta perawat.
Hasil pertemuan World Health Assembly di Geneva menunjukkan, kebutuhan akan kualifikasi dan jumlah tenaga keperawatan yang memadai tidak hanya menjadi masalah lokal, tetapi juga internasional.
Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi negara-negara berkembang yang kelebihan pasokan tenaga kerja terampil. Kini tersedia kesempatan luas untuk bekerja di luar negeri dengan imbalan yang jauh lebih baik daripada di negara sendiri. Tantangannya, mampukah pendidikan perawat di Indonesia menghasilkan tenaga perawat yang sesuai dengan kualifikasi, baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun kemampuan berbahasa.
Selain itu, perlu diwaspadai agar tidak terjadi brain drain atau mengalirnya sumber daya manusia yang terbaik ke luar negeri. Karenanya, di dunia internasional sudah ada desakan agar proses rekrutmen mempertimbangkan etika sehingga negara pemasok tenaga kerja tidak kehabisan perawat-perawat terbaiknya.
Dalam rangka pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, diupayakan imbalan tidak hanya untuk individu berupa gaji tinggi, tetapi juga peningkatan mutu sumber daya. Perawat yang bekerja hendaknya diberi kesempatan belajar/meningkatkan pendidikan. Selain itu, digalang kerja sama dengan institusi luar negeri untuk menyelenggarakan pendidikan di Indonesia sehingga meningkatkan mutu lulusan perawat.
Selain bekerja ke luar negeri, perawat didorong untuk bekerja secara mandiri. Peran perawat tidak hanya di dalam gedung (rumah sakit atau puskesmas), tetapi juga di masyarakat.
Kerja mandiri perawat bisa dilakukan dengan bekerja di perusahaan untuk menjaga kesehatan pekerja dan mencegah kecelakaan kerja. Selain itu, praktik berkelompok atau individu untuk konsultasi, melakukan kunjungan rumah, hospice care untuk pasien terminal, membantu penggunaan kolostomi. Dari pekerjaan itu perawat bisa mendapatkanprofessional fee. Selain itu perawat bisa melakukan kerja penelitian.
Sejak awal tahun 2000, di Kanada semua perawat kesehatan masyarakat sudah setingkat S1. Di Norwegia, 70 persen perawat rumah sakit lulusan S1. Indonesia mungkin perlu 40-50 tahun lagi untuk mencapai tingkatan itu. Kalau saat ini dipaksakan perawat profesional harus lulusan S1, hal itu tentu sangat sulit. Karena itu, lulusan D3 disebut sebagai perawat profesional pemula. Kalau ditambah pengalaman kerja tiga tahun, mereka bisa mendapatkan surat izin praktik (SIP).
Registrasi perawat dilakukan oleh konsil keperawatan, sebagaimana dokter dengan konsil kedokteran. Registrasi lewat konsil merupakan upaya guna memperoleh kewenangan formal bagi perawat untuk melakukan pekerjaan keperawatan secara profesional. Pekerjaan itu tidak bisa dilakukan sembarangan karena bisa membahayakan nyawa manusia. Saat ini sudah ada Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Keperawatan, namun belum masuk ke DPR.
Dalam hal ini perlu ada kesediaan profesi kesehatan lain untuk memberi kesempatan berkembangnya profesi keperawatan. Proses untuk itu tidak mudah. Banyak dari dokter yang masih berpandangan bahwa perawat, biarpun tingkat pendidikannya S1, S2 atau S3, tetaplah perawat, dalam arti perpanjangan tangan dokter.
Hal lain yang menjadi pertanyaan, siapa nantinya yang akan melakukan pekerjaan keperawatan dalam pengertian yang lama. Siapa yang membersihkan tempat tidur, membuang kotoran, menyiapkan meja operasi. Apakah dilakukan perawat profesional? Agaknya harus dibedakan antara tugas yang profesional dengan vokasional agar tidak terjadi tumpang tindih tuntutan hak dan kewajibannya.

Sumber: blogs.unpad.ac.id/fik_ceria3/?p=6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar